Minggu, 18 Januari 2015

Sejarah Sasirangan, Motif Motif Sasirangan & Maknanya Serta Proses Pembuatannya


SEJARAH SASIRANGAN


Arti kata sasirangan sendiri di ambil dari kata “sa” yang berarti “satu” dan “sirang” yang berarti “jelujur”. Sesuai dengan proses pembuatannya, Di jelujur, di simpul jelujurnya kemudian di celup untuk pewarnaannya. Ini berarti sasirangan artinya dibuat menjadi satu jelujurMenurut Sahibul Hikayat atau cerita rakyat, di sekitar abad XII sampai XIV pada masa kerajaan Dipa (Kalimantan Selatan)  kain sasirangan pertama kali di buat ,yaitu manakala Patih Lambung Mangkurat bertapa 40 hari 40 malam di atas lanting balarut banyu (di atas rakit mengikuti arus sungai). Menjelang akhir tapa nya, rakit Patih Lambung Mangkurat tiba di daerah Rantau kota Bagantung.Dilihatnya seonggok buih dan dari dalam buih terdengar suara seorang wanita, wanita itu adalah Putri Junjung Buih.
Putri Junjung Buih baru muncul ke permukaan kalau syarat-syarat yang dimintanya dipenuhi, yaitu membuatkan sebuah istana Batung (mahligai megah) yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang pria yang masih bujangan dan membuatkan sehelai kain langgundi yang dapat selesai sehari yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40 orang putri yang masih perawan dengan motif wadi/padiwaringin. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para tukang pria yang masih bujang, dan para penenun wanita yang masih perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih.
Pada hari yang telah disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan tempat persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong.
Ketika itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain adalah kain langgundi warna kuning basil tenunan 40 orang penenun wanita yang masih perawan (Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar)
Sesosok putri yang telah menemui Patih Lambung Mangkurat tersebut ternyata seorang Putri yang kelak akan memimpin Kerajaan Banjar sehingga Putri tersebut dikenal dengan nama Putri Junjung Buih.
Pada saat itulah kain calapan/sasirangan yang pertama kali dibuat dan sering disebut oleh masyarakat sebagai batik sandang yang disebut Kain Calapan yang kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan. Ada juga yang mengatakan kain langgudi bukan kain calapan.
Konon, sejak Putri Junjung Buih mengenakan kain langgundi, maka sejak itu pula, warga negara (rakyat jelata) Kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi mengenakan kain langgundi sebagai busana harian. Setelah Putri Junjung Buih, kemudian Pangeran Surianata, dan anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, kain langgundi hanya boleh dikenakan sebagai busana kebesaran para bangsawan kerajaaan. Mereka khawatir akan kualat karena terkena tulah Putri Junjung Buih yang sejak itu menjadi raja putri junjungan mereka. Akibatnya, para pengrajin kain langgundi tidak lagi membuatnya, karena pangsa pasarnya memang sudah tidak ada lagi.
Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika, itu (sesudah tahun 1335) merujuk kepada fungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani bagi para bangsawan kerajaan saja.
Meskipun demikian, kain langgundi ternyata tidaklah punah sama sekali. Beberapa orang warga negara Kerajaan Negara Dipa masih tetap membuatnya. Kali ini kain langgundi dibuat bukan untuk dijadikan sebagai bahan pembuat busana harian, tetapi sebagai bahan pembuat busana khusus bagi mereka yang mengidap penyakit pingitan. Penyakit pingitan adalah penyakit yang diyakini sebagai penyakit yang berasal dari ulah para arwah leluhur yang linggal di alam roh (alam barzah).
Menurut keyakinan yang sudah berurat berakar di kalangan etnis Banjar di Kalsel, konon para arwah leluhur itu secara berkala akan menuntut anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya untuk mengenakan kain langgundi. Begitulah, setiap satu, tiga, lima, dan tujuh tahun anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya akan jatuh sakit akibat terkena penyakit pingitan. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkannya dari penyakit pingitan itu kecuali mengenakan kain langgundi. Menurut penuturan nenek Jumantan (72 tahun), seorang juru sembuh terkenal di kota Banjarmasin, para pasien penyakit pingitan yang datang berobat kepadanya tidak lain adalah orang-orang yang masih mempunyai hubungan pertalian darah dengan nenek moyang mereka yang dulu tinggal di Amuntai, Alabio, Kalua, dan Margasari (Wulan, 2006).
Patut diduga, nenek moyang para pasien nenek Jumantan tersebut tidak lain adalah anak, cucu, buyut, intah, piat dari 40 orang wanita perawan yang dulu berjasa membantu Lambung Mangkurat membuatkan kain langgundi yang diminta oleh Putri Junjung Buih. Kasus semacam ini masih terjadi hingga sekarang.Ini berarti fungsi kain sasirangan sudah bergeser. Perbedaan asal-usul geneologis nenek moyang antara anak, cucu, keturunan bangsawan berdarah biro menuntut perlakuan yang berbeda dalam hal proses penyembuhan. Proses penyembuhan penyakit yang dideritanya, keturunan rakyat jelata dapat dilakukan dengan cara-cara yang sederhana. Sekadar meminum air putih yang sudah diberi mantra-mantra atau doa-doa oleh para juru sembuhnya. Sementara proses penyem¬buhan penyakit yang diderita oleh keturunan bangsawan sudah mengalami perumitan yang sedemikian rupa. Proses penyembuhan penyakit yang mereka derita harus dilengkapi dengan terapi mengenakan kain sasirangan yang harganya relatif mahal . Paparan ini merupakan petunjuk bahwa kain sasirangan pada zaman dahulu kala pernah menjadi simbol status sosial di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Kasus semacam ini masih terjadi hingga sekarang ini. Rakyat jelata yang hidupnya miskin hanya diberi fasilitas pengobatan setara dengan dana yang tersedia dalam program asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Sementara itu para pejabat bahkan para mantan pejabat diberi fasilitas pengobatan yang terbilang istimewa dan dirawat di rumah sakit berkelas dengan dana ditanggung negara. Menurut keterangan nenek Antung Kacil atau yang lebih dikenal Antung Arbayah (Gusti Arbayah), siapa saja yang nenek moyangnya bukan keturunan bangsawan atau bukan keturunan pembuat kain sasirangan, akan kualat karena terkena tulah yang sangat menakutkan, yakni ninta picak tangan tengkong (bahasa Banjar, arfinya mata buta dan tangan coati rasa karena terkena stroke). Tahun 1981, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan datang bertandang ke rumah nenek Antung Kacil, seorang juru sembuh yang menjadikan kain sasirangan sebagai sarana pelengkap terapi pengobatannya. Mereka meminta kesediaan nenek Antung Kacil mengajarkan kiat-kiat membuat kain sasirangan. Pada mulanya Antung Kacil tidak bersedia. la khawatir Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan terkena tulah mata picak tangan tengkong, karena telah berani belajar membuat kain sasirangan secara tanpa hak sesuai dengan yang disyaratkan sejak zaman dahulu kala. Tanpa maksud menantang bahaya, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan menyatakan siap, menanggung tulah itu. Mereka yakin tidak akan kualatkerkena tulah itu karena tujuan mereka belajar membuat kain sasirangan kepada. Antung Kacil semata-mata didasari dengan niat tulus, yakni ikut melestarikan salah satu kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar yang terancam punch. Akhirnya, hati Antung Kacil luluh juga. Pada, tanggal 24 Juli 1982, Ida Fitriah Kusuma sudah berani mengajarkan ilmu yang barn dikuasainya kepada ibu-ibu warga kota Banjarmasin yang berminat. Selepas pelatihan itu, yakni tanggal 10 Agustus 1982, mereka membentuk Kelompok Kerja Pembuat Kain sasirangan Banawati (Wulan, 2006). Kain sasirangan produksi mereka mulai diperkenatkan kepada khalayak ramai pada tanggal 27 Desember 1982. Ketika itu mereka menggelar peragaan busana kain sasirangan di Hotel Febiola Banjarmasin. Sambutannya sungguh luar biasa. Sejak itu kain sasirangan mulai dikenal lugs oleh segenap anggota masyarakat di Kalsel. Bak gayung bersambut, kata berjawab, Gubernur Kalsel Ir HM Said kemudian mengeluarkan kebijakan mewajibkan para PNS mengenakan baju berbahan kain sasirangan pada setiap hari Jumat (1985). Tidak hanya itu, para calon jemaah haji Kalsel juga, diwajibkan mengenakan baju berbahan kain sasirangan pada scat upacara pelepasan keberangkatan mereka di Aula Asrama Haji Lanclasan Ulin Banjarbaru. Tahun 1987, kain sasirangan dipamerkan di Departemen Perindustrian Jakarta. Pihak pemerintah daerah berinisiatif memberikan cinderamata kain sasirangan berkuahtas istimewa kepada para pejabat tinggi sipil dan militer yang berkunjung ke daerah kalsel. Sejak tahun 1985 fungsi kain sasirangan sudah kembali menjadi kain yang berfungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara sebagaimana yang dulu berlaku sebelum tahun 1355. Tidak lagi berfungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan rohani para pengidap penyakit pingitan.


 Berikut ini adalah kain langgundi/sasirangan yang warnanya dipercaya dapat memberikan kesembuhan bagi orang yang tertimpa suatu penyakit pingitan :
1. Kain sasirangan warna kuning merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit kuning (bahasa Banjar kana wisa)
2. Kain sasirangan warna merah merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit kepala, dan sulit tidur (imsonia)
3. Kain sasirangan warna hijau merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit lumpuh (stroke)
4. Kain sasirangan warna hitam merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit demam dan kulit gatal-gatal
5. Kain sasirangan warna ungu merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit perut (diare, disentri, dan kolera)
6. Kain sasirangan warna coklat merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit tekanan jiwa (stress)

Kepercayaan suku Banjar akan makna di balik warna kain ini merupakan keberlanjutan dari keyakinan yang dianut suku tersebut yaitu animisme. Suku Banjar sudah mengenal sastra lisan dalam bentuk mantra. Mantra di sini bukan hanya diperuntukkan bagi hal hal mistis namun juga dilakukan sebelum kegiatan sehari hari. Suku Banjar mengenal mantra menangkap buaya, mantra mengambil madu, mantra menyadap nira, dll. Mantra tersebut diwariskan secara turun temurun begitu juga dengan kain sasirangan.
Dahulu kala kain sasirangan diberi warna dengan zat pewarna yang dibuat dari bahan-bahan yang bersifat alami, yakni dibuat dari biji, buah, daun, kulit, atau umbi tanaman yang tumbuh liar di hutan atau sengaja ditanam di sekitar tempat tinggal para pembuat kain sasirangan itu sendiri.
Ada 6 warna utama kain sasirangan yang dibuat dari zat pewarna alami dimaksud, yakni :
1. Kuning, bahan pembuatnya adalah kunyit atau temulawak.
2. Merah, bahan pembuatnya adalah gambir, buah mengkudu, lombok merah, atau kesumba (sonokeling, pen)
3. Hijau, bahan pembuatnya adalah daun pudak atau jahe
4. Hitam, bahan pembuatnya adalah kabuau atau uar
5. Ungu, bahan pembuatnya adalah biji buah gandaria (bahasa Banjar Ramania, pen)
6. Coklat, bahan pembuatnya adalah uar atau kulit buah rambutan
Supaya warnanya menjadi lebih tua, lebih muda, dan supaya tahan lama (tidak mudah pudar), bahan pewarna di atas kemudian dicampur dengan rempah-rempah lain seperti garam, jintan, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis, kapur, tawas, cuka, atau terasi.
Sekarang sasirangan bukan lagi di peruntukkan hanya untuk spiritual, tapi sudah jadi pakaian kegiatan sehari-hari. Di Pemerintahan Daerah Kalimantan Selatan, Sasirangan di sejajarkan dengan Batik (Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan 91 tahun 2009 tentang standaarisasi Pakaian Dinas pegawai Negeri sipil di lingkungan Pemprov Kalsel).
Dalam pembuatan sasirangan sebagai bahan baku kainnya, yang banyak digunakan hingga saat ini adalah bahan kain yang berasal dari serat kapas (katun). Hal tersebut disebabkan karena pada mulai tumbuhnya pembuatan kain celup ikat adalah sejalan dengan proses celup rintang yang lain seperti batik dan tekstil adat. Untuk saat ini pengembangan bahan baku cukup meningkat, dengan penganekaragaman bahan baku non kapas seperti : polyester, rayon, sutera, dan lain-lain.
Desain/corak didapat dari teknik-teknik jahitan dan ikatan yang ditentukan oleh beberapa faktor, selain dari komposisi warna dan efek yang timbul antara lain : jenis benang/jenis bahan pengikat.
Produk barang jadi yang dihasilkan dari kain Sasirangan yaitu Kebaya, Hem, Selendang, Jilbab, Gorden, Taplak Meja, Sapu Tangan, Sprei dll. Penggunaan Kain Sasirangan inipun lebih meluas yaitu untuk busana pria maupun wanita yang dipakai sehari-hari baik resmi atau tidak


CERITA PUTRI JUNJUNG BUIH

Sejarah berdirinya negara Dipa diawali dengan adanya pelayaran yang dilakukan oleh Empu Jatmika. Mereka adalah saudagar dari negeri Keling. Pelayaran ini dilatarbelakangi wasiat ayah Empu Jatmika, yakni Mangku Bumi. Amanat Mangku Bumi antara lain adalah agar anak-anaknya pergi keluar negeri dan mencari sebuah negeri yang bertanah panas dan berbau harum untuk ditinggali setelah dia meninggal, karena di Keling sudah banyak orang-orang yang berhati iri dan dengki.
Setelah ayahnya meninggal, Empu Jatmika memerintahkan kepada hulubalang Arya Magatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa beserta kepala jabatan perdagangana Wiramartas yang merupakan orang yang menguasai banyak bahasa dan terkenal kehebatannya sebagai nahkoda untuk ikut dalam pelayarannya. Kapal yang digunakan adalah kapal Prabayaksa. Alhasil sampailah mereka pada daerah yang panas dan berbau harum yang bernama Pulau Hujung Tanah. Di situlah Empu Jatmika mendirikan kerajaan baru bernama Negara Dipa/Dipateh yang artinya negeri seberang tanah. Empu Jatmika sendiri bergelar Maharaja di Candi. Dibangunlah Candi Agung.
Empu Jatmika memiliki 2 orang anak dari hasil perkawinanya dengan Sira Manguntur, yakni Empu Mandastana dan Lembu Mangkurat (Lambung Mangkurat). Karena masyarakat sekitar Candi percaya barangsiapa yang menjadi raja sedangkan dia bukanlah dari golongan raja, maka akan mendatangkan marabahaya. Maka Empu Jatmika yang bukan keturunan raja, melainkan hanya seorang saudagar yang kaya raya menyadari harus mencari raja yang sebenarnya. Oleh sebab itu, sebelum dia mangkat, dia memerintahkan kepada kedua orang putranya untuk mencari raja sesungguhnya dengan jalan bertapa. Empu Mandastana diperintahkan agar bertapa di gunung, di dalam goa atau di pohon besar, sedangkan Lambung Mangkurat bertapa di pusar air di atas rakit batang pisang di daerah Ulu Banyu atau yang sekarang dikenal dengan nama Nagara.
Perintah dijalankan setelah Empu Jatmika wafat. Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di daerah Ulu Banyu dan pada malam terakhir pertapaannya, terdengarlah suara merdu dari dalam air yang mengisyaratkan agar Lambung Mangkurat menyediakan 40 jenis kue dan makanan beserta iring-iringan dayang yang berpakaian serba kuning. Selain itu Junjung Buih meminta untuk dibuatkan Mahligai yang dikenal dengan nama mahligai Puteri Junjung Buih yang tiang-tiangnya terbuat dari Batung Batulis, serta kain pamintan yang asal katanya adalah kain parmintaan (sasirangan) yang dibuatkan oleh 40 dara. Setelah permintaan Junjung Buih dikabulkan, maka keluarlah buih yang besar dan bercahaya. Dari sana keluar seorang puteri cantik jelita bernama Puteri Junjung Buih, raja Negara Dipa.
Lambung Mangkurat menjadi Mangkubumi Kerajaan Dipa merasa berkewajiban mencarikan suami yang pantas untuk Puteri Junjung Buih yang terkenal sakti. Maka bermimpilah Lambung Mangkurat. Dalam mimpinya dia bermimpi ayahnya, Empu Jatmika memberi petunjuk agar mencarikan calon suami raja di seberang lautan, yakni Kerajaan Majapahit. Maka diutuslah seorang pengawal ke Majapahit. Sesampainya di sana, Maha Patih Majapahit mengatakan dia memiliki anak tapi tidak sempurna fisiknya. Orang-orang menyebutnya Raja Bulat Bualing. Namun, demi menjalankan perintah, Raja Bulat Bualing tetap dibawa ke Negara Dipa.
Sesampainya di Muara Banjar, Puteri Junjung mendapat kabar bahwa calon suaminya hampir tiba di kerajaannya. Karena sang Puteri menginginkan calon suami yang sakti yang tidak kalah saktinya dengan dirinya, maka Puteri Junjung Buih mengutus Naga untuk menghalau air agar kapal rombongan Raja Bulat Bulaling kandas. Dalam kebingungan para pengawal istana, maka Raja Bulai Bulaling memerintahkan agar melemparkan dirinya ke dalam air agar dirinya dapat membunuh naga. Pengawalpun menuruti perintahnya. Selama berhari-hari Raja Bulat Bulaling di dalam air. Konon waktu itu turun bidadari dari langit yang berdoa atas keselamatan Raja Bulat Bulaling dengan cara menari. Tarian ini dikenal dengan tarian Baksa Kambang.
Akhirnya di dalam air muncul seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dia adalah Raja Bulat Bulaling yang telah berubah wujudnya. Dia dikenal dengan nama Suryanata (Raja Matahari). Puteri Junjung Buih mengakui kesaktian Suryanata dan bersedia menjadi isteri.
Dari cerita ini dapat di interpretasikan fakta dibalik historiografi tradisional ini, yakni :
1.  Tokoh Lambung Magkurat sebagai King Maker.
2.  Dalam Silsilah 2 alam, atau ditinjau dari nama tokoh Puteri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata, dapat dibagi menjadi alam bawah dan alam atas. Alam bawah nota bane-nya adalah alam perempuan yang biasa dilambangkan dengan symbol Tambon, Naga/ular sakti, Jata/biwata. Alam atas nota bane-nya adalah alam laki-laki yang biasa dilambangkan dengan symbol burung Tinggeng / binai/ enggang dalam mitologi dayak, Raja Tongtong Matandau/ penjuru matahari dan sebagainya. Pangeran Suryanata sebagai putera yang didapat dari langit hasil pertapaan Raja Majapahit menjadi unsur kepercayaan alam atas, sedangkan Puteri Junjung Buih yang keluar dari buih adalah hasil tapa dari air menjadi unsur alam bawah.
3.  Sejarah ini bukan terletak pada cerita putri junjung buih, melainkan pada masyarakat Banjar yang mempercayainya. Tampaknya kisah Putri Junjung Buih ini, memberikan kekuatan legitimasi bagi bangsawan Banjar dalam memegang kekuasaan politik. Dari kisah Pendirian Kerajaan Banjar di (Candi) Amuntai, Mpu Jatmika tidak diperkenankan menjadi Raja sebab dia merupakan seorang Pedagang. Untuk menjaga kelangsungan kerajaan yang baru di bangunnya, maka dibutuhkan legalitas seperti yang dilakukan raja-raja Jawa dengan Ratu Laut Selatan (Nyi Roro Kidul). Pertemuan alam bawah dan alam atas menunjukkan keharmonisan dua dunia. Sehingga keturunannya bukanlah kalangan rakyat biasa, tetapi mereka yang “luar biasa”, mereka yang memiliki tingkatan lebih tinggi. Pembedaan stratifikasi secara vertikal ini melahirkan golongan yang memiliki eksklusifitas dalam politik untuk memerintah rakyat.
4.  Dari cerita ini juga menunjukkan bahwa seorang Raja hanya merupakan sebuah simbol. Tampuk pemerintahan di pegang oleh Lambung Mangkurat yang nota banenya adalah pewaris kerajaan Banjar (pada periode Dipa) dari Mpu Jatmika sebagai Mangku Bumi (perdana mentri). Hal ini penting sebagai penjelasan terhadap ekstensi dan legalitas kekuasaan yang diakui oleh orang-orang yang dipimpinnya.
MOTIF MOTIF SASIRANGAN
A. Motif Sasirangan Tradisional

a. Kulat karikit, Gigi Haruan, Iris Pudak, & Ular Lidi


Motif Batik Sasirangan Kulat Karikit adalah tumbuhan jenis cendawan yang hidup menempel pada batang atau dahan pohon, jadi termasuk tumbuhan yang menumpang, tetapi tidak merugikan tumbuhan yang ditumpangi seperti halnya parasit benalu.Kulat karikit hidup mandiri, cari makan sendiri.Sehingga dapat dimaknai hidup mandiri, tahan menderita.Bentuk gambarnya mirip dengan motif gigi haruan, tetapi lebih kecil dan juga biasanya tersusun secara vertikal.

Motif Batik Sasirangan yang bernama motif “Gigi Haruan” ini diambil dari nama ikan Haruan atau ikan gabus, salah satu ikan makanan favorit orang banjar. Ikan ini yang biasanya berwarna hitam dan memiliki gigi-gigi yang runcing dan tajam.Sehingga gigi ikan haruan inilah diambil sebagai salah satu motif batik sasirangan yang bermakna “ketajaman berpikir”.

Motif Batik Sasirangan Hiris Pudak adalah sebuah tanaman sebutan orang banjar, yang biasa kita kenal dengan tanaman pandan.Tanaman pandan ini sering ditanam di pekarangan rumah, karena sering digunakan sebagai pengharum ketika memasak nasi.Akan tetapi tanaman pandan di daerah Banjarmasin airnya banyak dimanfaatkan orang sebagai pewarna kue. Juga sebagai campuran bunga rampai (bunga khas banjar) yang biasanya digunakan ketika melakukan acara adat banjar seperti acara perkawinan ataupun acara-acara lain.

Motif Batik Sasirangan Ular lidi dalam salah satu dongeng orang Banjar dianggap sebagai simbol kecerdikan kerena ular lidi yang kecil itu gagah dan cerdik namun berbisa.Bentuk gambarnya mirip hiris pudak, tetapi berganda dua dan tidak patah-patah, tetapi melengkung dengan garis vertikal dan bervariasi

b. Daun Jaruju, & Tampuk Manggis





Motif Batik Sasirangan Motif Daun Jaruju bermakna sebagai penolak bala.Karena jenis daun Jaruju ini berduri, sehingga sering dimanfaatkan sebagai pengusir tikus.Biasanya orang –orang dahulu meletakkan daun jaruju ini di sudut rumah agar tikus tidak bisa masuk ke rumah.

Motif Batik Sasirangan Tampuk Manggis diambil dari filosofi buah manggis yaitu kejujuran, karena setiap jumlah isi buah manggis pasti selalu sama dengan apa yang ditampilkan tampuk buah manggis tersebut. Misalnya tampuk yang ada di kulit luar buah manggis tersebut ada 5, maka sudah dapat dipastikan isi dalam buah manggis tersebut berjumlah lima buah. Nah hal inilah kenapa motif Batik Sasirangan juga mengambil filosofi tampuk manggis, karena apa yang telah terucapkan sama dengan apa yang terlintas dalam hati.

c. Hiris Gagatas & Kambang Sasaki




Motif Batik Sasirangan Gagatas disebut juga rincung gagatas yang artinya bungas (cantik), tidak akan bosan apabila dipandang. Pada umumnya kue khas Banjar dipotong beberapa bagian dalam bentuk Gagatas ini.
Motif Batik Sasirangan Kambang Sakaki yang bermakna sekuntum bunga yang melambangkan keindahkan yang banyak dipergunakan sebagai ornamen khas Banjar, seperti ukiran arsitektur rumah adat Banjar.

d. Bintang Sudut Ampat, Bintang Sudut Lima, Bintang Sudut Tujuh, Gugusan bintang & Bintang Bahambur

Motif Batik Sasirangan Bintang bermakna bahwa bintang adalah salah satu tanda kebesaran Yang Maha Kuasa, kita sebagai manusia tak akan sanggup untuk dapat menghitung berapa sesungguhnya jumlah bintang yang ada di alam semesta ini.

e. Kambang Kacang & Bayam Raja


Motif Batik Sasirangan Kambang Kacang mengartikan “simbol keakraban”. Hal ini disebabkan karena kambang kacang ini sejenis tanaman yang buahnya selalu digemari oleh semua orang banjar, biasanya dicampur dengan sayuran lain seperti labu dan kacang hijau. Sehingga sayuran ini sangat akrab dengan dapur.


Motif Batik Sasirangan Bayam Raja adalah atribut seseorang yang dihormati dan bermatabat.Karenanya motif ini mengandung makna leluhur yang bermartabat dan dihormati.Bentuknya dengan garis-garis yang melengkung patah-patah, biasanya tersusun secara vertikal menjadi garis pembatas dengan motif-motif lain, sehingga bayam raja banyak dalam kain sasirangan.

f.  Ramak Sahang, Daun Katu, & Gelombang


Motif Batik Sasirangan Ramak Sahang adalah salah satu jenis rempah rempah yang biasa kita kenal merica.Sedangkan ramak (bahasa Banjar) artinya hancur, jadi ramak sahang artinya merica hancur.Motif ini hampir mirip dengan motif hiris pudak yang berganda dua, tapi gambarnya terputus-putus tidak senyawa.

Motif Batik Sasirangan Daun Katu adalah tanaman yang sering ditanam di pekarang rumah, tanaman ini memiliki manfaat selain digunakan sebagai sayuran bisa juga di manfaatkan oleh ibu-ibu yang lagi menyusui anak, karena manfaat apabila mengkonsumsi sayuran ini dapat melancarkan air susu ibu (ASI). Sehingga daun katu juga dijadikan sebagai salah satu motif sasirangan.

Motif Batik Sasirangan Galombang bermakna mengarungi gelombang kehidupan manusia.Seperti filosofi “roda yang berputar” kadang keadaan kehidupan seseorang berada pada posisi dibawah, atau bahkan kebalikannya

g. Kangkung kaumbakan & Ombak Sinampur Karang




Motif Batik Sasirangan Kangkung Kaumbakan artinya adalah kangkung yang terkena ombak, maksudnya adalah tanaman kangkung yang hidup menjalar di air apabila airnya bergelombang atau ombak air, batang kangkung tidak putus.Sehingga bermakna tahan cobaan atau ujian.

Motif Batik Sasirangan Sinampur Karang artinya ombak yang menerjang karang, ombak ini bisa dikiaskan sebagai gelombang perjuangan dalam hidup mmanusia.

h.Turun Dayang



Motif Batik Sasirangan Turun Dayang tidak jauh berbeda dengan dara manginang, maka motif turun dayang ini juga sering berkomposisi yang abstrak atau tidak jelas.Tetapi turun dayang bisa dengan tata tiga warna utama, yaitu merah, kuning dan hijau


i.Mayang Maurai & Naga Balimbur


Motif Batik Sasirangan Mayang Maurai artinya mayang terurai, mayang ini biasanya dipakai ketika melakukan acara mandi-mandi (tradisi adat Banjar) yang biasanya dilakukan sehari sebelum pengantin disandingkan.Atau juga bisa dilakukan acara mandi 7 bulanan pada saat seorang wanita yang hamil 7 bulan.

Motif Batik Sasirangan Naga Balimbur diambil dari sebuah dongeng orang Banjar yang termasuk dalam folkore, yang menceritakan tentang naga sedang mandi di tengah sungai pada waktu pagi hari. Dengan riangnya sang naga itu mandi sambil berjemur dengan cahaya matahari yang bersinar dengan cerah. Keadaan itu menggambarkan sebagai suatu suasana yang menyenangkan atau mengembirakan.

j. Dara Manginang
Motif Batik Sasirangan Dara manginang atau dengan istilah Banjar “Galuh Manginang” adalah seorang gadis Banjar dahulu yang baru makan sirih, sehingga air liurnya yang merah karena gambir sampai meleleh keluar bibir.Akan tetapi kebiasaan ini sekarang sudah jarang sekali dijumpai di masyarakat Banjar.Karena pergeseran zaman ke masyarakat modern.Oleh sebab itu lah momen seperti diabadikan sebagai salah satu motif batik sasirangan.Sebagai penginggat masyarakat Banjar bahwa dulu nenek moyang mereka dulu sering menginang.Motif ini biasanya lebih dominan berwarna merah menyala.

B. Motif Sasirangan Modern
1) Motif Sarigading

Beberapa tahun yang lalu muncul motif batik sasirangan yang bernama motif “Sarigading”, motif ini juga sangat disukai oleh masyarakat Banjar karena coraknya yang unik. Bahkan ketika Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono beserta istri ibu Ani berkunjung pada tanggal 22 s/d 24 Oktober 2013 dalam rangka peletakkan batu pertama dan meresmikan proyek masterplan. Pada kesempaten tersebut Beliau beserta Ibu juga mengenakan Pakaian Batik Sasiangan yang bermotif Sarigading. Motif Sarigading ini menurut informasi yang kami peroleh, proses pembuatan motif Sarigading ini tergolong lebih rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama karena motifnya kecil-kecil sehingga proses penenunnya pun cukup lama. Sehingga harga Batik Sasirangan yang bermotif Sarigading ini pun dijual pedagang tergolong lebih mahal karena ongkos pembuatannya yang lebih mahal dari motif yang lain.

2) Motif Degradasi

Motif Degradasi ini adalah motif yang saat ini banyak dibuat oleh pengrajin Batik Sasirangan di Banjarmasin, ciri khas motif ini dari unsur warna yang biasanya terdiri dari tiga pewarnaan.Motif ini terlihat coraknya lebih lebar dibandingkan dengan motif-motif sebelumnya. Dan proses pembuatannya pun tergolong lebih mudah ketika dalam proses penenunan.

3) Motif Abstrak


Motif Abstrak ini adalah motif terbaru saat ini, coraknya apabila kita amati seperti corak macan (corak yang unik). .Motif Abstak ini masih tergolong langka.Mungkin para pengrajin Batik Sasirangan saat lebih banyak menembangkan motif Degradasi dibandingkan motif Abstrak.Atau mungkin karena setiap pengrajin Batik Sasirangan memiliki keahlian yang berbeda-beda sehingga masing-masing pengrajin menunjukkan kelebihannya.

4)Motif Rainbow
https://www.tokopedia.com/jualsasirangan/kain-batik-sasirangan-motif-rainbow

Motif Rainbow adalah motif terbaru dari para pengrajin sasirangan, motif ini ada kemiripan dengan motif batik dari Palembang, ide dari ini adalah karena saat ini dunia fashion sangat berkembang pesat sehingga memicu para pencinta Kain Sasirangan menciptakan motif baru agar lebih diterima di kalangan anak muda sekarang. Kalau kita lihat Rainbow ini warnanya lebih banyak dibandingkan dengan motif-motif sasirangan pada umumnya disesuaikan dengan karakter anak mudah sekarang yang fashionable.

Drs. HM Syamsiar Seman, dalam bukunya SASIRANGAN KAIN KHAS BANJAR menampilkan beberapa motif kain sasirangan yang baru :
1. Laju Bakayuh (Cepat Mendayung Perahu)
2. Mandulang Intan (Cara Menambang Intan secara Tradisional)
3. Pucuk Rabung (Pucuk Cikal Bambu ) atinya lakat mufakat
4. Sarang Wanyi (Rumah Lebah)
5. Kayapu (Nama Tumbuhan air)
6. Kambang Mawar (Bunga Mawar)
7. Kambang Malati (Bunga Melati
8. Kambang dalam Jambangan (Bunga dalam Jambangan)
9. Kambang Malayap (Bunga yang menjalar)
10. Daun Kastila (Daun Pepaya)
11. Daun Tarung Pipit (Daun Terong)
12. Daun Bilaran
13. Buah Kanas (Buah Nenas)
14. Hitalu Biawan (Telur ikan Biawan) yang melambangkan kesuburan
15. Saluang Hilir Mudik (Ikan Saluang Hilir Mudik)
16. Kupu-Kupu Bungas (Kupu Kupu Cantik)
17. Musik Panting
18. Kalayangan Dandang (Layang-layang besar)
19. Rumbia Kasalukutan (Pohon Sagu Kebakaran)
20. Payung Raja
21. Kalung Putri Junjung Buih
22. Utas Dayang Diparaja (Cincin Dayang Diparaja)
23. Surui Diang Ingsung (Sisir Diang Ingsung)
24. Kipas Galuh Banjar
25. Bunil Galuh Rumbayan Amas (Anting Galuh Rumbayan Emas)
26. Batung Batulis (Jenis Bambu bertulisan)
27. Kambang Tabulirit (Bunga tercecer)
28. Pagat Balarangan (Putus Bertunangan) yang bentuk motifnya seperti daun
29. Kalambuai Pusing Kiwa yang motifnya menyerupai siput atau keong
30. Pasar Tarapung (Pasar Terapung/Floating Market)

Pada dasarnya motif motif sasirangan dapat digolongkan mnjadi 3 kelompok yaitu :


1. Motif lajur merupakan bentk motif yang dirangkai memanjang. Contoh  hiris pudak, kangkung kaumbakan,kulat karikitm gigi haruan, dll


2.Motif ceplok adalah bentuk motif yang biasanya tampil sendiri sendiri contohnya hiris gagatas, tampuk manggis, pucuk rabung. kambang malati, dsb.

3. Motif variasi adalah motif penghias untuk menambah suatu penampilan. Contohnya pinggiran motif hiris gagatas yang diberi hiasan tambahan agar lebih cantik.

PROSES  PEMBUATAN  SASIRANGAN
1) Menyiapkan Kain Putih (Memotong Kain)

Langkah pertama dalam membuat kain sasirangan yaitu mempersiapkan bahan kain putih polos sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Pada awal kemunculannya bahan baku yang digunakan untuk membuat kain sasirangan yaitu berupa serat kapas (cotton), namun seiring berjalannya waktu saat ini lebih banyak memanfaatkan material lain seperti santung, balacu, kaci, king, satin, polyester, rayon, dan sutera.


2) Membersihan Kain

Bila kain yang digunakan mengandung kanji maka harus dibersihkan terlebih dahulu dengan cara merendamnya dalam air dingin yang telah dicampur dengan kaporit selama satu malam.
Dalam perdagangan biasanya kain dijual dalam keadaan telah difinish atau dikanji, dimana kanji tersebut dapat menghalangi penyerapan zat warna.Oleh karena itu kain harus diproses persiapan / penghilangan kanji agar kain mempunyai daya serap terhadap zat warna.
Untuk menghilangkan kanji dapat dilakukan dengan 3 cara :
Perendaman biasa, bahan direndam dalam air selama satu atau dua hari, kemudian dibilas. Cara ini tidak banyak disukai, karena banyak memakan waktu dan ada kemungkinan timbul mikro organisme yang akan merusak kain.
Perendaman dengan asam, kain direndam dalam larutan asam sulfat atau asam chlorida selama satu malam. Apabila larutan dipanaskan pada suhu 35' C maka waktu pengerjaan dapat disingkat hingga menjadi 2 jam saja. Setelah proses maka kain dibilas dengan air sehingga bebas dari asam.
Rendaman dengan enzym, bahan dimasak dengan suatu larutan enzym (Rapidase, Novofermasol dan lain-lain) pada suhu 45' C selama 30 s/d 45 menit.Setelah pemasakan kain dicuci dalam air panas dua kali masing-masing 5 menit, kemudian dicuci dingin sampai bersih.

3) Pembuatan Pola Desain atau Motif di Kain

Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan pola gambar tradisional sesuai dengan motif yang dikehendaki.Pola-pola inilah yang kemudian dijadikan patokan dalam menjahit kain tersebut.
Pekerjaan melukis atau menggambar ini dapat dibedakan dalam dua cara, yaitu :
Melukis atau menggambar dengan langsung dan bebas sesuai dengan lukisan atau gambar apa yang diinginkan, misalnya melukis selembar daun, bunga, bintang dan lain-lain.
Melukis atau menggambar dengan mempergunakan pola atau mal yang telah ada. Lukisan atau gambar yang dihasilkan tentu saja telah terikat dengan pola yang sudah ada.Pola atau mal yang telah tersedia tersebut terdiri dari sepotong karton tebal yang telah berlubang berupa garis lurus, garis lengkung, bundar dan sebagainya. Pola atau mal itu diletakan di atas kain putih yang akan dilukis. Setelah selesai, pola atau mal itu diletakan lagi ke samping kain tersebut untuk mendapatkan gambar yang sama. Pekerjaan ini sebenarnya bukan melukis atau menggambar, tetapi hanya menggaris-garis dengan pensil menurut alur garis-garis sesuai pola yang sudah ada. Motif gambar yang dihasilkan umumnya adalah untuk mendapat kain sasirangan yang seragam motifnya dalam jumlah banyak.

4) Kain Dijahit atau Dijelujur



Setelah lukisan selesai tergambar pada lembaran kain putih tersebut, pekerjaan berikutnya adalah menjahit. Dengan mempergunakan jarum tangan yang telah diberi benang yang kuat. Kain tersebut dijelujur (dijahit) mengikuti garis-garis hasil lukisan dengan jarak 1 - 2 mm atau 2 – 3 mm. Setelah jelujur dengan benang telah selesai untuk selembar kain, maka benang-benang tersebut disisit (ditarik kuat), sehingga tampak hasilnya berupa kain yang dijelujur tersebut menjadi takarucut (mengkerut).

5) Pemberian Warna



Pewarnaan adalah pemberian warna yang merata pada suatu bahan yang mempunyai sifat kurang lebih permanent.Pada umumnya pewarnaan terdiri dari melarutkan atau mendispersikan zat warna dalam air atau medium lain kemudian bahan tekstil dimasukkan atau dicolet dengan larutan tersebut sehingga terjadi penyerapan zat warna kedalam serat.
Yang penting dalam pewarnaan adalah kerataan warna pada bahan artinya terdapat kerataan yang maksimum dalam pembagian zat warna pada bahan. Masing-masing zat warna mempunyai cara pewarnaan yang berbeda dan pemakaian zat warna disesuaikan dengan jenis serat serta ketahanan luntur yang diinginkan.
Dalam proses pewarnaan kain sasirangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

Pencelupan. Apabila diinginkan hanya satu warna saja, maka dapat dikerjakan proses pencelupan. kain dicelup kedalam larutan zat warna dan obat-obat pembantu, sehingga kan dihasilkan kain berwarna yang merata kecuali pada bekas jahitan/sirangan akan tetap berwarna putih.

Pencoletan. Kain yang telah disirang diberi warna dengan cara dicolet di atas sirangannya maupun diantara sirangan, banyaknya warna bisa lebih dari satu atau dua warna tergantung dari motif dan macam warna yang diinginkan.
Pencelupan dan Pencoletan. Pada cara ini mula-mula kain dicelup warna muda sebagai dasar warna. Kemudian dicolet dengan warna yang lebih tua.

Syarat-syarat zat warna antara lain :
* Harus mempunyai warna, jadi mengabsorpi cahaya tampak.
* Dapat larut dalam pelarut, umumnya air atau mudah dilarutkan.
* Zat warna harus mempunyai affinitas terhadap serat (dapat menempel).
* Mempunyai sifat yang cukup baik seperti : tahan cuci, tahan sinar.
* Zat warna harus dapat berdifusi pada serat.
* Zat warna harus mempunyai susunan yang stabil setelah meresap ke dalam serat.

Jenis Jenis zat warna yang dikenal antara lain :

1. Zat warna Directt
2. Zat warna Basis
3. Zat warna Asam
4. Zat warna Belerang
5. Zat warna Dispersi
6. Zat warna reaktif
7. Zat warna Rapid
8. Zat warna Pigmen
9. Zat warna Oksidasi
10. Zat warna Hydron
11. Zat warna Bejana
12. Zat warna Bejana Larut
13. Zat warna Napthol

Selain zat warna di atas ada lagi zat warna yang kini lagi trend digunakan unutk menambah kesan anggun dan mewah pada kain digunakan yaitu zat warna prada. Pemberian warna prada dikerjakan pada bagian tertentu misalnya di tepi bekas sirangan maupun di tempat lain sesuai dengan yang diinginkan .

6) Jahitan Dilepas
Selanjutnya benang-benang jahitan atau ikatan pada kain yang digunakan untuk menjelujur tersebut kemudian dilepaskan seluruhnya, apabila kain dirasa sudah agak kering. Sehingga akan terlihat motif-motif bekas jahitan yang tampak diantara kain tersebut

7) Pencucian

Setelah seluruh perintang dilepaskan, barulah kemudian dicuci sampai bersih ditandai dengan air bekas cuciannya yang jernih atau tidak berwarna lagi.


8) Pengeringan

Tahap selanjutnya, kain dijemur di tempat yang teduh dan tidak terkena paparan sinar matahari langsung. Mengeringkan kain tersebut dengan cara didadai (digelar) ditempat yang naung (teduh) dan tidak kena sinar matahari secara langsung.


9) Finishing / Disetrika

Setelah kain benar-benar kering, proses terakhir yaitu proses penyempurnaan berupa merapikan kain agar tidak kumal dan kain menjadi licin yaitu dengan menyetrikanya. Penyetrikaan dilakukan secara manual dengan menggunakan setrika listrik. Kegiatan ini dilakukan secara hati-hati apalagi kalau bahan yang disetrika terbuat dari kain sutera.

10) Hasil Produksi

Kain sasirangan sudah jadi dan siap dibuat baju/lainnya atau siap untuk dipasarkan.

Contoh produk dari kain sasirangan





https://www.bukalapak.com/p/fashion-wanita/dress/7eh0zw-jual-baju-sasirangan-asli-kalimantan







6 komentar:

Komen nya gan di tunggu :v